Sabtu, 26 April 2014

Sang Pohon Cantik

Hikayat Sang Pohon Cantik

Nun,di sebuah hutan belantara tumbuhlah sebatang pohon yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan jutaan pohon yang lainnya. Ia memiliki batang yang sangat lurus dan tegak, akarnya yang kukuh, serta aroma khasnya yang harum, semerbak, memenuhi seluruh isi hutan. Sehingga tidaklah menjadi hairan, ramai sekali para pencari kayu bakar yang merasa tertarik kepada pohon itu. Bahkan ramai yang berniat baik untuk turut memelihara keindahan pohon itu. Dengan senang hati mereka membiarkan pohon tersebut tetap tumbuh.
Sering kali mereka menyempatkan diri untuk menyiraminya dengan air yang diperoleh dari lubuk bening di pinggir hutan. Semua itu mereka lakukan dengan penuh harap agar suatu saat kelak, di alam yang mulai penuh dengan kerosakkan ini, Sang Pohon Cantik akan tumbuh dengan sejuta pesona. Memberikan warna perubahan bagi siapa saja, untuk lebih mencintai lingkungan mereka dan berhenti membuat kerosakan.
Sementara bagi para penebang pohon yang liar, keberadaan pohon cantik itu sangatlah mengganggu. Mereka sedar, apabila pohon tersebut tumbuh dengan baik, maka akan banyak perhatian yang akan tertuju kepada hutan itu. Perhatian yang tentu saja membuat langkah mereka semakin sulit dalam membuat kerosakan di dalam hutan itu. Para penebang pohon yang liar itu berikrar, mereka akan memindahkan pohon cantik itu ke halaman rumah-rumah mereka. Tetapi kalau tujuan itu tidak tercapai, maka mematikan pohon itu adalah cara terbaik yang harus mereka tempuh.
Beruntung, pohon cantik tersebut mendapat penjagaan yang sangat rapi dari para pencari kayu bakar yang baik hati. Mereka secara bergiliran mengiring berjalan dengan sangat waspada agar pertumbuhan Sang Pohon terjaga . Selain itu, pohon tersebut rupanya memiliki akar yang dapat menumbuh dengan cepat. Sehingga sari-sari makanan yang ada dalam tanah dapat diserap dengan baik. Demikian juga dengan air yang ada, dapat digunakan oleh Sang Pohon untuk menampung kehidupannya.
Dipendekkan cerita,pohon tersebut telah tumbuh besar, daunnya yang rimbun menghijau membuat mata tak lelah untuk memandang, dari dahan-dahannya lahir wangian semerbak harum yang menyeliputi seluruh hutan, dan satu lagi, pohon cantik tersebut memiliki buah yang sangat manis. Selain dapat menghilangkan dahaga, juga dapat mengenyangkan para penikmatnya. Terasalah berkah Sang Pencipta bagi para pencari kayu bakar, meskipun para penebang pohon yang liar masih saja mencari helah untuk selalu menghapuskan pohon itu.
Namun, demikianlah kudrat keberadaan setiap makhluk yang hidup dan tumbuh di atas muka bumi ini, tak satupun yang abadi! Tak terkecuali dengan keadaan pohon cantik yang disanjung para pencari kayu bakar dan seluruh penghuni hutan. Pada suatu petang, ketika langit mulai gelap, angin pun kencang berhembus. Pucuk pohon cantik bergoyang dengan hebatnya. Ia sekuat tenaga mengimbangi keadaan yang mana pada bila-bila masa boleh menumbangkannya. Sang Pucuk terus bergerak, awalnya hanya berniat untuk mempertahankan diri dari keadaan alam yang ia hadapi.
Tetapi lama-kelamaan ia sedar, bahwa sebenarnya ia dapat mengatasi sepenuhnya serangan angin tersebut. Ia yakin benar telah ditampung oleh akar yang kuat, dan dahan-dahan yang kukuh, serta dedaunan yang dapat menahan laju dan kencangnya angin dengan sempurna. Kerana keyakinannya itulah tiba-tiba ia membuat sebuah gerakan yang tidak disangka-sangka oleh Sang Akar, yang sekuat tenaga mencengkam tanah.
Sang Pucuk menari, bukan hanya mengikut arah angin, namun terkadang ia membuat gerakan yang membingungkan Sang Akar dalam mempertahankan keseimbangannya. Dan, Sang Akar pun mengeluarkan bantahannya; “Hai, pucuk. Berhentilah menari! Aku bingung melihatmu!” “Kenapa mesti bingung, Akar? Aku tahu benar situasi yang ada. Ikut sajalah!” “Bagaimana aku hendak mengikuti tarianmu, kalau kamu susah diikuti” “Percayalah, akar. Aku diatas mampu melihat semuanya. Bukan hanya batang, daun, dan kau akarku sendiri. Tetapi jarak puluhan batu di sekeliling kita pun dapat aku lihat dengan jelas” “Hai, apa salahnya aku mengingatkanmu, pucuk?” “Kau salah akar, harusnya kau ikut saja apa kataku. Kerana posisimu di bawah, dan kau tidak tahu apa-apa tentang dunia ini!”
“Aduhai…angkuh nian kau, pucuk! Kalaulah tak ada aku, mana mungkin kau dapat berdiri dan berada di atas sana!” “Sudahlah, kenapa kalian malah bertengkar, hah?!” Sang Daun menegahi suasana yang semakin panas. “Kerana dia mulai merasa angkuh, daun!” akar mengarahkan serabut akarnya kepada Sang Pucuk. “Apa urusanmu, akar?! Ikuti sajalah kataku, dan kau akan selamat” “Apakah kalian lupa, hah? Kalian itu saling memerlukan! Tidak akan ada kehidupan kalau tidak aku, kau, dan si akar itu. Sedarlah, saudaraku! kawanku!” Sang Daun kembali berkata-kata dengan perasaan yang sedih kerana pertelingkahan saudaranya sendiri.
Perdebatan demi perdebatan terus bergulir di antara keduanya. Sang Pucuk tidak merasa harus mengalah sedikit pun terhadap Sang Akar. Ia merasa bahawa ialah segalanya, dialah ketua kerana berada di tempat yang paling atas. Ia merasa ditakdirkan Tuhan untuk berada di atas dengan segala penglihatannya yang luas akan dunia ini. Ia merasa Tuhan telah memberikan kekuasaan mutlak kepadanya untuk berbuat sesuka hati. Sementara, Sang Akar merasa kecewa, Sang Pucuk telah mengambil langkah yang keliru dalam melaksanakan upaya menjaga kelangsungan hidup seluruh bagian pohon tersebut. Dan, Sang Daun yang berusaha meleraikan perdebatan itu pun tak berdaya menenangkan keduanya, meski ia tak pernah merasa lelah untuk mendamaikan perseteruan dua saudara satu tubuh itu.
Waktu yang digariskan mungkin saja telah tiba, kerana perdebatan yang berlarutan itu, Sang Akar bermalas-malasan untuk menyerap air dan zat-zat yang dibutuhkannya. Demikian juga Sang Daun, kerana kelelahan melerai perdebatan kedua saudaranya, ia lupa untuk mengolah makanan meskipun matahari terus bersinar sepanjang hari. Dan, Sang Pucuk rupanya semakin terlena. Ia tidak menyadari dua saudara dibawahnya sudah mengalami gangguan. Ia tetap berlenggok mengikuti arah angin dengan irama yang menghiburkan hatinya. Hingga tibalah saat di mana angin justeru berhembus dengan sangat perlahan.
Sang Pucuk terlena kerana desirnya, ia merasa ngantuk dan ia biarkan gerakannya yang tidak beraturan, dan ia pun mulai terpejam. Terlelap dalam tidur yang tidak disedarinya, dan angin datang menyerang. Tubuhnya terkulai. Sang Daun yang lapar tidak berdaya menahan tubuh Sang Pucuk yang datang tiba-tiba. Ia ikut terjatuh. Sementara di bawah, Sang Akar yang bermalas-malasan tidak lagi memiliki cengkaman yang kuat terhadap tanah di sekelilingnya. Sang Akar tidak berkuasa menahan tubuh kedua saudaranya yang terjatuh lebih dulu. Ia tercabut, bercerai-berai.
Beginilah akhirnya kisah pohon cantik,sebuah cerita yang menyedihkan.Para pencari kayu bakar yang baik hati bermuram durja, sementara para penebang liar bergelak tawa, “Tak perlu kita robohkan, kawan. Mereka roboh sendiri kerana permusuhan…!! ” “O, bahkan tak perlu angin yang kencang rupanya…….kasihan betul…..” demikianlah kata penebang pohon yang liar.
Dari sini saudara-saudaraku dapatkah kita mengambil sedikit iktibar dari cerita ini?
Marilah kita jauhi permusuhan yang meleraikan silaturrahim antara kita,
janganlah berdendam kerana dendam itu tidak membawa kedamaian..
saling hormat menghormati dan bersatu padulah kita agar syiar Islam dapat diteruskan dan digemilangkan.. dan agar kita tetap menjadi orang yang beriman..
InsyaAllah..
‘Perumpamaan orang beriman yang berkasih sayang, dan saling rahmat merahmati dan di dalam kemesraan sesama mereka adalah seperti satu tubuh, apabila satu anggota mengadu sakit, maka seluruh tubuh akan turut merasainya.’
Semoga Bermanfaat…
Source : iluvislam.com
Shared By Catatan Catatan Islami Pages

Hikayat Sang Pohon Cantik

Nun,di sebuah hutan belantara tumbuhlah sebatang pohon yang memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan jutaan pohon yang lainnya. Ia memiliki batang yang sangat lurus dan tegak, akarnya yang kukuh, serta aroma khasnya yang harum, semerbak, memenuhi seluruh isi hutan. Sehingga tidaklah menjadi hairan, ramai sekali para pencari kayu bakar yang merasa tertarik kepada pohon itu. Bahkan ramai yang berniat baik untuk turut memelihara keindahan pohon itu. Dengan senang hati mereka membiarkan pohon tersebut tetap tumbuh.
Sering kali mereka menyempatkan diri untuk menyiraminya dengan air yang diperoleh dari lubuk bening di pinggir hutan. Semua itu mereka lakukan dengan penuh harap agar suatu saat kelak, di alam yang mulai penuh dengan kerosakkan ini, Sang Pohon Cantik akan tumbuh dengan sejuta pesona. Memberikan warna perubahan bagi siapa saja, untuk lebih mencintai lingkungan mereka dan berhenti membuat kerosakan.
Sementara bagi para penebang pohon yang liar, keberadaan pohon cantik itu sangatlah mengganggu. Mereka sedar, apabila pohon tersebut tumbuh dengan baik, maka akan banyak perhatian yang akan tertuju kepada hutan itu. Perhatian yang tentu saja membuat langkah mereka semakin sulit dalam membuat kerosakan di dalam hutan itu. Para penebang pohon yang liar itu berikrar, mereka akan memindahkan pohon cantik itu ke halaman rumah-rumah mereka. Tetapi kalau tujuan itu tidak tercapai, maka mematikan pohon itu adalah cara terbaik yang harus mereka tempuh.
Beruntung, pohon cantik tersebut mendapat penjagaan yang sangat rapi dari para pencari kayu bakar yang baik hati. Mereka secara bergiliran mengiring berjalan dengan sangat waspada agar pertumbuhan Sang Pohon terjaga . Selain itu, pohon tersebut rupanya memiliki akar yang dapat menumbuh dengan cepat. Sehingga sari-sari makanan yang ada dalam tanah dapat diserap dengan baik. Demikian juga dengan air yang ada, dapat digunakan oleh Sang Pohon untuk menampung kehidupannya.
Dipendekkan cerita,pohon tersebut telah tumbuh besar, daunnya yang rimbun menghijau membuat mata tak lelah untuk memandang, dari dahan-dahannya lahir wangian semerbak harum yang menyeliputi seluruh hutan, dan satu lagi, pohon cantik tersebut memiliki buah yang sangat manis. Selain dapat menghilangkan dahaga, juga dapat mengenyangkan para penikmatnya. Terasalah berkah Sang Pencipta bagi para pencari kayu bakar, meskipun para penebang pohon yang liar masih saja mencari helah untuk selalu menghapuskan pohon itu.
Namun, demikianlah kudrat keberadaan setiap makhluk yang hidup dan tumbuh di atas muka bumi ini, tak satupun yang abadi! Tak terkecuali dengan keadaan pohon cantik yang disanjung para pencari kayu bakar dan seluruh penghuni hutan. Pada suatu petang, ketika langit mulai gelap, angin pun kencang berhembus. Pucuk pohon cantik bergoyang dengan hebatnya. Ia sekuat tenaga mengimbangi keadaan yang mana pada bila-bila masa boleh menumbangkannya. Sang Pucuk terus bergerak, awalnya hanya berniat untuk mempertahankan diri dari keadaan alam yang ia hadapi.
Tetapi lama-kelamaan ia sedar, bahwa sebenarnya ia dapat mengatasi sepenuhnya serangan angin tersebut. Ia yakin benar telah ditampung oleh akar yang kuat, dan dahan-dahan yang kukuh, serta dedaunan yang dapat menahan laju dan kencangnya angin dengan sempurna. Kerana keyakinannya itulah tiba-tiba ia membuat sebuah gerakan yang tidak disangka-sangka oleh Sang Akar, yang sekuat tenaga mencengkam tanah.
Sang Pucuk menari, bukan hanya mengikut arah angin, namun terkadang ia membuat gerakan yang membingungkan Sang Akar dalam mempertahankan keseimbangannya. Dan, Sang Akar pun mengeluarkan bantahannya; “Hai, pucuk. Berhentilah menari! Aku bingung melihatmu!” “Kenapa mesti bingung, Akar? Aku tahu benar situasi yang ada. Ikut sajalah!” “Bagaimana aku hendak mengikuti tarianmu, kalau kamu susah diikuti” “Percayalah, akar. Aku diatas mampu melihat semuanya. Bukan hanya batang, daun, dan kau akarku sendiri. Tetapi jarak puluhan batu di sekeliling kita pun dapat aku lihat dengan jelas” “Hai, apa salahnya aku mengingatkanmu, pucuk?” “Kau salah akar, harusnya kau ikut saja apa kataku. Kerana posisimu di bawah, dan kau tidak tahu apa-apa tentang dunia ini!”
“Aduhai…angkuh nian kau, pucuk! Kalaulah tak ada aku, mana mungkin kau dapat berdiri dan berada di atas sana!” “Sudahlah, kenapa kalian malah bertengkar, hah?!” Sang Daun menegahi suasana yang semakin panas. “Kerana dia mulai merasa angkuh, daun!” akar mengarahkan serabut akarnya kepada Sang Pucuk. “Apa urusanmu, akar?! Ikuti sajalah kataku, dan kau akan selamat” “Apakah kalian lupa, hah? Kalian itu saling memerlukan! Tidak akan ada kehidupan kalau tidak aku, kau, dan si akar itu. Sedarlah, saudaraku! kawanku!” Sang Daun kembali berkata-kata dengan perasaan yang sedih kerana pertelingkahan saudaranya sendiri.
Perdebatan demi perdebatan terus bergulir di antara keduanya. Sang Pucuk tidak merasa harus mengalah sedikit pun terhadap Sang Akar. Ia merasa bahawa ialah segalanya, dialah ketua kerana berada di tempat yang paling atas. Ia merasa ditakdirkan Tuhan untuk berada di atas dengan segala penglihatannya yang luas akan dunia ini. Ia merasa Tuhan telah memberikan kekuasaan mutlak kepadanya untuk berbuat sesuka hati. Sementara, Sang Akar merasa kecewa, Sang Pucuk telah mengambil langkah yang keliru dalam melaksanakan upaya menjaga kelangsungan hidup seluruh bagian pohon tersebut. Dan, Sang Daun yang berusaha meleraikan perdebatan itu pun tak berdaya menenangkan keduanya, meski ia tak pernah merasa lelah untuk mendamaikan perseteruan dua saudara satu tubuh itu.
Waktu yang digariskan mungkin saja telah tiba, kerana perdebatan yang berlarutan itu, Sang Akar bermalas-malasan untuk menyerap air dan zat-zat yang dibutuhkannya. Demikian juga Sang Daun, kerana kelelahan melerai perdebatan kedua saudaranya, ia lupa untuk mengolah makanan meskipun matahari terus bersinar sepanjang hari. Dan, Sang Pucuk rupanya semakin terlena. Ia tidak menyadari dua saudara dibawahnya sudah mengalami gangguan. Ia tetap berlenggok mengikuti arah angin dengan irama yang menghiburkan hatinya. Hingga tibalah saat di mana angin justeru berhembus dengan sangat perlahan.
Sang Pucuk terlena kerana desirnya, ia merasa ngantuk dan ia biarkan gerakannya yang tidak beraturan, dan ia pun mulai terpejam. Terlelap dalam tidur yang tidak disedarinya, dan angin datang menyerang. Tubuhnya terkulai. Sang Daun yang lapar tidak berdaya menahan tubuh Sang Pucuk yang datang tiba-tiba. Ia ikut terjatuh. Sementara di bawah, Sang Akar yang bermalas-malasan tidak lagi memiliki cengkaman yang kuat terhadap tanah di sekelilingnya. Sang Akar tidak berkuasa menahan tubuh kedua saudaranya yang terjatuh lebih dulu. Ia tercabut, bercerai-berai.
Beginilah akhirnya kisah pohon cantik,sebuah cerita yang menyedihkan.Para pencari kayu bakar yang baik hati bermuram durja, sementara para penebang liar bergelak tawa, “Tak perlu kita robohkan, kawan. Mereka roboh sendiri kerana permusuhan…!! ” “O, bahkan tak perlu angin yang kencang rupanya…….kasihan betul…..” demikianlah kata penebang pohon yang liar.
Dari sini saudara-saudaraku dapatkah kita mengambil sedikit iktibar dari cerita ini?
Marilah kita jauhi permusuhan yang meleraikan silaturrahim antara kita,
janganlah berdendam kerana dendam itu tidak membawa kedamaian..
saling hormat menghormati dan bersatu padulah kita agar syiar Islam dapat diteruskan dan digemilangkan.. dan agar kita tetap menjadi orang yang beriman..
InsyaAllah..
‘Perumpamaan orang beriman yang berkasih sayang, dan saling rahmat merahmati dan di dalam kemesraan sesama mereka adalah seperti satu tubuh, apabila satu anggota mengadu sakit, maka seluruh tubuh akan turut merasainya.’
Semoga Bermanfaat…
Source : iluvislam.com
Shared By Catatan Catatan Islami Pages

“ PERKARA SI BUNGKUK DAN SI PANJANG”

“ PERKARA SI BUNGKUK DAN SI PANJANG”



 Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit sebagai ternyata dari contoh yang di bawah ini:

  Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya perahu hendak menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka ditantinya 1) kalau-kalau ada orang lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang itu terlalu baik parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tua, lagi bungkuk belakangnya. Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga. Katanya, "Apa upayaku hendak menyeberang sungai ini?"
  Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang itu, "Hai tuan hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat berenang; sungai ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya." Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, "Untunglah sekali ini!"
  Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu, "Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu, "Sebagaimana 3) hamba hendak bawa tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang juga dahulu maka boleh, karena air ini dalam."
  Maka kata orang tua itu kepada istrinya, "Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi itu, "Berilah barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba seberangkan." Maka diberi oleh perempuan itu segala bekal-bekal itu. Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi itu. Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk air itu dalam. Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba." Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.

  Maka kata perempuan itu kepadanya, "Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu."
 Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah, setelah sudah maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu semuanya dilihat oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi itu.
  Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan, maka ia pun berkata-kata dalam hatinya, "Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku mati."

  Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya sungai itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi itu. Dengan hal yang demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Masyhudulhakk itu.


 Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Istri siapa perempuan ini?"

 Maka kata Bedawi itu, "Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan; sudah besar dinikahkan dengan hamba."
 Maka kata orang tua itu, "Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba."
 Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orang pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk kepada perempuan itu, "Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang laki-laki ini?"
  Maka kata perempuan celaka tersebut, "Si Panjang inilah suami hamba."
Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba."
Maka kata Masyhudulhakk, "Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?"
Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Berkata benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?"
Maka kata Bedawi itu, "Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya."
Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu perempuan ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana kampung tempat ia duduk?"
Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-laki Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Hai orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?"
Maka kata orang tua itu, "Daripada mula awalnya." Kemudian maka dikatakannya, siapa mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya
Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali. Kemudian maka disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan demikian itu.
Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
Unsur Intrinsik dan ekstrinsik HIKAYAT
Judul           : Hikayat Mashudulhakk (perkara si bungkuk dan si panjang)
Unsur intrinsik :
·         Tema               : Kesetiaan dan Pengkhianatan dalam Cinta
·         Tokoh             :
  •  Masyhudulhakk : arif, bijaksana, suka menolong, cerdik, baik hati.
  •   …Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu.
  •   Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
  •   …..Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk,"Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
  •  Si Bungkuk : setia pada istrinya, suka mengalah, mudah percaya.
  •   Maka kata orang tua itu, "Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba.
  •  Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga lehernya juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu, "Tuan hamba seberangkan apalah 2) hamba kedua ini.
  •   Maka kata orang tua itu kepada istrinya, "Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka turunlah perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu.
  •  
  •  Si Panjang / Bedawi : licik, egois.
  •   Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, "Untunglah sekali ini!
  •   Maka kata Bedawi itu, "Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya.
  •  Istri Si Bungkuk : mudah dirayu, tidak setia, suka berbohong, egois.
  •   hamba jadikan istri hamba." Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.Maka kata perempuan itu kepadanya, "Baiklah.
  •   ….maka diperiksa pula oleh Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba.
  • Setting :
  •  Tempat :
          Tepi sungai : Maka ia pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya.
          Sungai : turunlah perempuanitu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu
  •  Suasana :
         Menegangkan: Maka pada sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga.
         Mengecewakan:  "Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku
         mati.Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu.
        Membingungkan: Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka
        gemparlah.
  •  Waktu : tidak diketahui
  •  Alur     : Alur maju
  •  Eksposisi         :
  • Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit  maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah ia kepada suatu sungai.
  •  Komplikasi   :
  • ….serta dilihatnyaperempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di dalam hatinya, "Untunglah sekali ini!
  •  Rising action   :
  • Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu, "Akan tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba ambit, hamba jadikan istri hamba."
  •  Turning point :
  • Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu. Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
  •  Ending                        :
  • Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu dan kebenaran orang tua itu. Maka Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali.
  • Poin of View :
  •  orang ke-3 :
  • Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
  • Amanat :
  • Jangan berbohong karena berbohong itu tidak baik, merupakan dosa, dan hanya akan menimbulkan kerugian pada diri kita sendiri
  •  Bantulah dengan ikhlas orang yang membutuhkan bantuan
  •  Syukurilah jodoh yang telah diberikan Tuhan, yakini bahwa jodoh itu baik untuk kita
  •  Jangan mengambil keputusan sesaat yang belum dipikirkan dampaknya
  •  Jadilah orang yang bijaksana dalam mengatasi suatu masalah

Unsur ekstrinsik :
·         Nilai religiusitas : kita harus selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh Allah. Jangan pernah merasa iri dengan apa yang tidak kita miliki karena apa yang te;ah diberikan Allah kepada kita adalah sesuatu yang memang terbaik untuk kita. Janagn seperti yang ada pada hikayat mashudulhakk.
·         Nilai moral :
Janganlah  sekali-kali  kita memutar balikkan fakta, mengatakan bahwa yang salah itu benar dansebaliknya, karena bagaimanapun juga kebenaran akan mengalahkan ketidak benaran.
·         Nilai social budaya :
Sebuah kesalahan pastilah akan mendapat sebuah balasan, pada hikayat ini diterangkan bahwa seorang yang melakukan keslahan seperti berbohong maka akan did era sebanyak seratus kali. (Lalu didera oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali.)
·         Kepengarangan :
Hikayat mashudulhakk ini dari salah satu naskah lama (Collectie v.d. Wall) dengan diubah di sana-sini setelah dibandingkan dengan buku yang diterbitkan oleh A.F. v.d. Wall (menurut naskah yang lain dalam kumpulan yang tersebut).Dalam Volksalmanak Melayu 1931 (Balai Pustaka) isi naskah yang dipakai v.d. Wall itu diringkaskan dan sambungannya dimuat pula, dengan alamat "Masyudhak".. Dinantinya.



“IBNU HASAN”

Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan, banyak harta banyak uang, terkenal kesetiap negeri, merupakan orang terkaya, bertempat tinggal du negeri Bagdad, yang terkenal kemana-mana, sebagai kota yang paling ramai saat itu.
Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan, menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang baik, walaupun harus  mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu banyak pengikutnya.
Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak, laki-laki yang sangat tampan, pendiam, dan baik budi, berusia sekitar tujuh tahun. Ibnu Hasan namanya.
Ibnu Hasan sedang lucu-lucuya, semua orang senang melihatnya, apalagi orang tuanya, namun demikian anak itu, tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun hidupnya dimanjakan, tidak kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka bersolek, karena itulah kedua orang tuanya sangat menyayanginya.
Ayahnya berfikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas, tanpa pertimbangan, bagaimana kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak dapat mendidik anak, mengkaji ilmu yang bermanfaat.”
Dipanggilnya putranya. Anak itu segera mendatanginya, diusap-usapnya putranya sambil dinasihati, bahwa Ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku, sebenarnya aku kuatir, tapi, pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.”
Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan, jalan kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak akan ku tolak, siang malam hanya perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.”
Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah dengan kedua orangtuanya, hatinya sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis terisak-isak, harus berpisah dengan putranya, yang masih sangat kecil, belum cukup usia.
“Kelak, apabila ananda sudah sampai, ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga diri, karena jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras kepala, angkuh dan menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu menghina sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan senangkaena dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-hatilah menjaga diri jangan menganggap enteng segala hal.”
Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan kucatat dalam hati, doakanah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh jalan yang salah, pesan Ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”
Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin dan Mairun,mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan pakaian, sementara Mairin mengikuti dari belakang, sesekali menggantikan tugas Mairun.
Perasaan sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan yang makan waktu berhari-hari namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir, dengan selamat berkat do’a Ayah dan Ibunda, selanjutnya, segera Ian menemui seorang alim ulama, terus berguru padanya.
Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang bernama Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari mana?”
Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,” Sekolah itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum tahu?”
“sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap sesama, harus sesuai dengan aturan.”
Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, di segera  pulang, menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna mencari ilmu. Sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.”
Kyai berkata demikian, tujuan untuk  menguji muridnya, apakah betul-betul ingin mencari ilmu atau hanya alasan supaya mendapat pujian.
Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa hamba besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu.
Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang, ternaknyapun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan.
Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah sudah tiada, sudah menunggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba.
Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis, bukan bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini bodoh.
Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.
Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihiorang tua, paling tidak harus sama dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin, ibaratnya anak seorang patih.”
Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.
           UNSUR INSTRINSIK
Ø  Tema    : Bakti seorang anak terhadap orang tuanya
Ø  Tokoh   
o   Ibnu Hasan
o   Syekh Hasan
o   Ibu Ibnu Hasan
o   Mairin
o   Mairun
o   Saleh
o   Kyai guru
Ø  Penokohan : 
o   Ibnu Hasan = Baik, tidak sombong, kalem, pendiam, penurut
o   Syekh Hasan = Baik, Bijaksan, Penyayang
o   Ibu Ibnu Hasan = Baik, Penyayang
o   Mairin dan Mairum = Setia
o   Saleh = Sopan
o   Kyai guru = Baik
Ø  Plot/Alur : Alur Maju
Ø  Latar :
o   Latar tempat = Negeri Bagdad, Mesir, Pesantren
o   Latar waktu = Zaman dahulu kala, Saat ba’da Dzuhur
o   Latar suasan = Mengahrukan, sedih, Prihatin
Ø  Sudut pandang : Orang ketiga tunggal
Ø  Amanat : Patuhlah kepda kedua orangtuamu, berbuat baiklah kesesama manusia dan janganlah sekali-kali engkau menyombongkan diri.
UNSUR INSTRINSIK
Ø  Agama : Menganut agama Islam
Ø  Pendidikan : Ibnu Hasan baru saja ingin menuntut ilmu pada kyai guru
Ø  Adat istiadat : Sopan, mengasihi yg kekurangan, dll
Ø  Status ekonomi : Syekh Hasan sangat kaya raya.
Si Miskin
Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang dari keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si Miskin.
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan, siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.
Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada di taman raja. Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi istri itu makin menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah. Tuan jangan menangis. Biar Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada tuan.”
Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang lain. Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskin menghadap raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera. Isterinya menyambut dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.
Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih sayang.
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal, didapatnya sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya.
Si Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi. Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan, bernama Nila Kesuma.
Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan Puspa Sari dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.
Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya, dicarinya ahli-ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.
Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi orangtuanya.
Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.
Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar.
Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin. Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena disangka mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemu oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.
Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di pangkalan raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk akan dimakan. Waktu Cahaya Chairani berjalan–jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.
Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya berjual bunga. Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga Marakarmah dikenal oleh Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali antara suami-isteri itu.
Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang puteri di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah bahwa puteri tersebut adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang jahat itu dibunuhnya.
Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali. Dengan kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala perlengkapannya seperti dahulu kala.
Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja Bujangga Indera (saudara Cahaya Chairani).
Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi raja di Palinggam Cahaya.
Unsur Intrinsik dalam hikayat Si Miskin
1.    Tema :  Kunci kesuksesan adalah kesabaran. Perjalanan hidup seseorang yang mengalami banyak rintangan dan cobaan.
2.    Alur : Menggunakan alur maju, karena penulis menceritakan peristiwa tersebut dari awal permasalahan sampai akhir permasalahan.
3.    Setting/ Latar :
¯ -Setting Tempat : Negeri Antah Berantah, hutan, pasar, Negeri Puspa Sari, Lautan, Tepi Pantai Pulau Raksasa, Kapal, Negeri Palinggam Cahaya.
¯ Setting Suasana : tegang, mencekam dan Ketakutan, bahagia, menyedihkan
4.    Sudut Pandang Pengarang : orang ketiga serba tahu.


5.    Amanat :
¯  Seorang pemimpin yang baik adalah seorang yang adil dan pemurah.
¯  Janganlah mudah terpengaruh dengan kata-kata oran lain.
¯  Hadapilah semua rintangan dan cobaan dalam hidup dengan sabar dan rendah      hati.
¯  Jangan memandang seseorang dari tampak luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam hatinya.
¯  Hendaknya kita dapat menolong sesama yang mengalami kesukaran.
¯  Janganlah kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.
¯  Hidup dan kematian, bahagia dan kesedihan, semua berada di tanan Tuhan, manusia hanya dapat menjalani takdir yang telah ditentukan.
Unsur Ekstrinsik dalam Hikayat Si Miskin
1. Nilai Moral
Kita harus bersikap bijaksana dalam menghadapi segala hal di dalam hidup kita.
Jangan kita terlalu memaksakan kehendak kita pada orang lain.
2. Nilai Budaya
Sebagai seorang anak kita harus menghormati orangtua.
Hendaknya seorang anak dapat berbakti pada orang tua.
3. Nilai Sosial
Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.
Hendaknya kita mau berbagi untuk meringankan beban orang lain.
4. Nilai Religius
Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.
Percayalah pada Tuhan bahwa Dialah yang menentukan nasib manusia.
5. Nilai Pendidikan
Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.
Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.


   Nah, itu tadi adalah artikel mengenai " Kumpulan Contoh Hikayat Beserta Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Terbaru 2014 " Semoga dengan artikel ini dapat membantu dan bermanfaat.Terima kasih telah berkunjung di blog ini.

Hikayat Tanjung Lesung

Oleh Suharyanto
SYAHDAN, pada zaman dahulu kala ada seorang pengembara dari Laut Selatan bernama Raden Budog. Suatu hari, setelah lelah bermain di tepi pantai, Raden Budog beristirahat di bawah pohon ketapang laut. Angin semilir sejuk membuat Raden Budog terlena. Perlahan matanya terpejam. Dalam tidumya Raden Budog bermimpi mengembara ke utara dan bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik. Hati Raden Budog terpesona oleh kecantikannya. Tanpa disadarinya, kakinya melangkah mendekati gadis itu yang tersenyum manis kepadanya. Dilihatnya tangan gadis itu diulurkan kepadanya. Raden Budog pun mengulurkan tangannya hendak menyambut uluran tangan gadis itu. Tapi betapa terkejutnya dia... seranting kering pohon ketapang mengenal dahinya. Raden Budog terperanjat dan terbangun dari tidurnya. Dengan perasaan kesal diraihnya ranting itu dan dibantingnya keras-keras. "Ranting keparat!" gerutunya. "Kalau ranting itu tidak jatuh maka aku bisa menikmati mimpi indahku."
Berhari-hari bayangan mimpi itu tidak pernah bisa hilang dari ingatan Raden Budog. Lalu diputuskannya bahwa dia akan pergi mengembara. Raden Budog pun segera menyiapkan perbekalan untuk pengembaraannya. "Cek...cek...cek..., kita akan mengembara, sayang," kata Raden Budog mengelus-elus anjing kesayangannya yang melonjak-lonjak dan menggonggong gembira seolah mengerti ajakan tuannya.
Raden Budog lalu menghampiri kuda kesayangannya. "Kita akan mengembara jauh, sayang. Bersiap-siaplah." Raden Budog membelai-belai kudanya yang meringkik gembira. Kemudian Raden Budog menyiapkan golok dan batu asah yang selalu dibawanya ke mana saja dia mengembara.
Setelah semuanya dirasa siap, Raden Budog segera menunggang kuda kesayangannya, berjalan ke arah utara. Di pinggangnya terselip golok panjang yang membuatnya tampak gagah dan perkasa. Sedangkan tas anyaman dari kulit terep berisi persediaan makanan, terselempang di bahunya. Sementara itu anjing kesayangannya berjalan di depan, mengendus-endus mencari jalan bagi tuannya. Anjing itu kadang menggonggong menghalau bahaya yang mengancam tuannya.
Lima hari perjalanan telah ditempuhnya. Walaupun begitu Raden Budog belum juga mau turun dari kudanya. Dia juga tidak menyadari badannya sudah lemah karena perutnya kosong, begitu pula kudanya. Pikirannya cuma terbayang-bayang pada mimpinya di tepi pantai itu. "Kapan dan di mana aku bisa bertemu gadis itu?" gumamnya dalam hati.
Raden Budog terus memacu kudanya menapaki jalan-jalan terjal dan mendaki hingga tiba di Gunung Walang yang sekarang ini menjadi kampung Cimahpar. Tiba-tiba kudanya roboh. Raden Budog terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya. Namun Budog terperanjat, mencoba menguasai keseimbangannya. Namun karena sudah sama-sama lemah, Raden Budog dari kudanIva berguling-guling di lereng gunung. Anjing kesayangannya menggonggong cemas meningkahi ringkik kuda. Raden Budog segera bangun, sekujur badannya terasa lemah dan nyeri.
Sejenak Raden Budog istirahat di Gunung Walang. Dia membuka bekalnya dari makan dengan lahap. Sementara itu kudanya mencari rumput segar sedangkan anjingnya berlarian kian kemari memburu mangsanya, seekor burung gemak yang berjalan di semak-semak.
"Ayo kita berangkat lagi!" Raden Budog berteriak memanggil kuda dan anjingnya. Namun dilihatnya pelana kuda itu ternyata telah robek. Dengan terpaksa Raden Budog menanggalkan pelana itu dan memutuskan untuk meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki karena dia tidak biasa menunggang kuda tanpa pelana. Mereka terus rnelangkah hingga tibalah di suatu tempat yang tinggi. Tali Alas namanya yang sekarang disebut Pilar. Dari tempat inilah Raden Budog dapat melihat laut yang biru membentang dengan pantainya yang indah.
Raden Budog kemudian melanjutkan perjalanan ke pantai Cawar. Begitu sampai di pantai yang indah itu Raden Budog segera berlari dan terjun ke laut, berenang-renang gembira. Perjalanan yang begitu melelahkan Iitu seolah lenyap oleh segarnya air pantai Cawar. Di muara sungai Raden Budog membilas tubuhnya. lalu dicarinva kuda dan anjing kesayangannya untuk meneruskan pengembaraan.
"Ayo kita berangkat lagi!" seru Raden Budog ketika dilihatnya kuda dan anjing kesayangannya itu sedang duduk di tepi pantai.
Tidak seperti biasanya, kuda dan anjing kesayangannya itu diam saja seolah tak perduli ajakan tuannya. Raden Budog merasa heran. "Cepat berdiri! Ayo kita berangkat"' Seru Raden Budog lagi.
Tapi kedua binatang itu tetap duduk saja, tak bergerak sedikit pun. Anjing dan kuda itu tampak sangat kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang, sehingga sekadar untuk berdiri pun tak sanggup lagi.
"Aku harus segera menemukan gadis pujaanku. Kalau kalian tidak mau menuruti perintahku dan tetap diam seperti karang, akan kutinggalkan kalian di sini!" teriak Raden Budog sambil meneruskan perjalanan, meninggalkan anjing dan kuda kesayangannya. Namun kedua binatang itu tetap tidak bergeming dan menjelma menjadi karang. Sampai sekarang di pantai Cawar terdapat karang yang menyerupai kuda dan anjing sehingga disebut Karang Kuda dan Karang Anjing.
Maka Raden Budog melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Dalam benaknya telah ada kesayangan lain yang ingin segera ditemukannya. Gadis pujaan yang muncul dalam mimpinya itu benar-benar memenuhi benaknya, sehingga goloknya pun tertinggal di Batu Cawar. Kini Raden Budog hanya membawa tas dari kulit terep beserta batu asah di dalamnya. Sesampainya di Legon Waru, Raden Budog kembali merasakan kelelahan. Sendi-sendi tubuhnya terasa lunglai. Tapi Raden Budog tidak ingin beristirahat barang sebentar. Dia terus mencoba melangkah dengan sisa tenaganya.
"Benda ini rasanya sudah tak berguna, hanya memberati pundakku saja. Lebih baik kutinggalkan saja di sini," gumam Raden Budog. Diambilnya batu asah itu dari dalam tasnya dan diletakkannya di tepi jalan. "Biarlah batu ini menjadi kenangan," gumamnya lagi. Demikiamah, sampai saat ini di Legon Waru terdapat sebuah karang yang dikenal dengan Karang Pengasahan.
Berhari-hari Raden Budog terus mengembara menyusuri pesisir pantai. Wajah gadis yang menghiasi mimpinya memenuhi pikirannya sepanjang perjalanan, menyalakan semangat dalam dadanya. Rasa bosan, lelah dan letih tak dihiraukannya. Juga pakaiannya yang mulai lusuh dan badannya yang berdebu. Suatu ketika hujan turun dengan derasnya, Raden Budog berlindung di bawah pohon. Dari balik pasir, tiba-tiba berhamburan penyu-penyu besar dan kecil menuju laut. Penyu-penyu itu seakan gembira menyambut datangnya air hujan. Tempat itu kini dikenal dengan nama Cipenyu. Sesaat kemudian Raden Budog melanjutkan perjalanannya setelah mengambil daun pohon langkap yang dijadikannya sebagai payung agar tidak kehujanan.
Namun hujan terus melebat, tidak ada pertanda akan reda. Mendung tampak semakin menghitam dan bergerak dari selatan menuju utara. "Mudah-mudahan ada gua di sekitar sini. Aku harus berlindung dan beristirahat sejenak," gumam Raden Budog. Dan betapa gembiranya Raden Budog ketika dilihatnya sebuah bukit karang yang menjorok. Raden Budog pun mempercepat langkah dan masuk ke dalam gua. Ditutupnya pintu gua dengan daun langkap sehingga gua itu pun menjadi gelap gulita.
Beberapa saat Raden Budog beristirahat melepas lelah sambil menunggu hujan reda. Tapi Raden Budog merasa tidak nyaman berada dalam gua yang gelap gulita itu. Dibukanya daun langkap yang menutupi pintu gua. Seberkas sinar menerobos masuk. Ternyata hujan telah reda. Raden Budog pun keluar dan ditutupnya kembali mulut gua itu dengan daun langkap. Sampai saat ini pintu gua itu tetap tertutup daun langkap yang membatu dari dikenal dengan nama Karang Meumpeuk.
Tidak jauh dari Karang Meumpeuk, tibalah Raden Budog pada sebuah muara sungai yang airnya sangat deras. Hujan yang baru saja turun memang sangat lebat, sehingga tidak mengherankan jika sungai-sungai menjadi banjir. Raden Budog terpaksa menghentikan perjalanannya dan duduk di atas batu memandangi air sungai yang meluap. Sayup-sayup terdengar bunyi lesung dari seberang sungai. Hati Raden Budog berdebar dipenuhi rasa sukacita. Dia merasa yakin, di seberang sungai terdapat kampung tempat tinggal gadis pujaannya yang selama ini dia cari. "Dasar kali banjir!" gerutu Raden Budog tak sabar menunggu banjir surut. Tempat ini sampai sekarang terkenal dengan Kali Caah yang berarti kali banjir.
Karena sudah tidak dapat menahan sabar, akhirnya Raden Budog menyeberangi sungai itu walaupun dengan susah payah dan dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Di pitltu masuk kampung, Raden Budog beristirahat, rnengitarkan pandang ke arah kampung. Hatinya mulai merasa tenang karena merasa akan segera bertemu dengan gadis yang dimimpikannya.
Di kampung itu tinggallah seorang janda bernama Nyi Siti yang memiliki seorang anak gadis yang sangat cantik. Sri Poh Haci namanya. Setiap hari Dri Poh Haci membantu ibunya mnumbuk padi menggunakan lesung yang dipukul-pukulnya itu menimbulkan suara yang sangat merdu dan indah. Oleh sebab itu, setiap kali selesai menumbuk padi, Sri Poh Haci tidak segera berhenti, tapi terus memukul-mukul lesung itu hingga terangkatlah nada yang merdu dan enak didengar. Dimulai dari sinilah akhirny banyak gadis kampung yang berdatangan ke rumah Nyi Siti untuk ikut memukul lesung bersama Nyi Poh Haci.
Kebiasaan memukul lesung akhirnya menjadi tradisi kampung itu. Sri Poh Haci merasa gembira dapat menghimpun gadis-gadis kampung bermain lesung. Permainan ini oleh Sri Poh Haci diberi nama Ngagondang, yang kemudian dijadikan acara rutin setiap akan menanam padi. Tapi pada setiap hari Jum’at dilarang membunyikan lesung, karena hari Jum’at adalah hari yang keramat bagi kampung itu.
Raden Budog yang sedang beristirahat di pintu masuk kampung kembali mendengar bunyi lesung yang mengalun merdu. Kemudian dia berdiri dan melangkahkan kaki menuju ke arah sumber bunyi-buny'in itu. Bunyi lesung terdengar semakin keras. Di dekat sebuah rumah, dilihatnya gadis-gadis kampung sedang bermain lesung. Tangan mereka begitu lincah dan trampil mengayunkan alu ke lesung, membentuk nada-nada mempesona. Tapi yang lebih mempesonakan Raden Budog adalah seorang gadis semampai yang cantik jelita. Gadis itu mengayunkan tangannya sekaligus memberi aba-aba pada gadis-gadis lain. Rupanya gadis itu adalah pemimpin dari kelompok gadis-gadis yang sedang bermain lesung itu.
Merasa ada yang memperhatikan, gadis itu, Sri Poh Haci, memberikan syarat kepada gadis-gadis lainnya untuk menghentikan permainan. Gadis-gadis itu pun bergegas pulang ke rumah masing-masing. Begitu pula Sri Poh Haci. Di dalam rumah, ibunya bertanya kepada Sri Poh Haci, mengapa permainannya hanya sebentar. Sri Poh Haci lalu menceritakan bahwa di luar ada seorang lelaki tampan yang belum pernah dilihatnya. "Laki-laki itu memperhatikanku terus. Aku jadi malu, Bu," kata Sri Poh Haci.
Sesaat kemudian, terdengar suara ketukan pintu.
"Sampurasun."
"Rampes," jawab Nyi Siti seraya berjalan menuju pintu dan membukanya perlahan. Dilihatnya seorang pemuda yang gagah lagi tampan berdiri di depan pintu.
Belum sempat Nyi Siti berbicara, pemuda itu sudah mendahului membuka suara. "Maaf mengganggu. Bolehkah saya menginap di rumah ini?"
Nyi Siti tentu saja kaget mendengar permintaan dari orang yang tak dikenalnya. "Kisanak ini siapa? Dari mana asalnya? Mengapa pula hendak menginap di sini? Saya belum kenal dengan Kisanak," kata Nyi Siti.
"Oh, ya. Maaf, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Raden Budog. Saya seorang pengembara. Saya tak punya tempat tinggal. Kebetulan saya sampai di kampung ini, dan kalau diperbolehkan saya ingin menginap di sini," jelas Raden Budog.
"Maaf, Kisanak. Saya seorang janda dan tinggal dengan anak perempuan saya satu-satunya. Saya tidak berani menerima tamu laki-laki, apalagi sampai menginap," jawab Nyi Siti dengan tegas dan segera menutup pintu.
Hari sudah mulai gelap. Raden Budog yang merasa kesal oleh kejadian yang baru saja dialaminya berjalan menuju bale-bale bambu di dekat rumah Nyi Siti. Dia merebahkan tubuhnya dan segera tertidur pulas. Dia pun bermimpi diijinkan menginap di rumah itu. Bukan oleh Nyi Siti yang menyebalkan itu, tapi oleh seorang gadis cantik yang dia temui dalam mimpinya di pantai selatan, gadis yang tadi dilihatnya sedang bermain gondang. Ah, betapa senangnya hati Raden Budog.
Namun waktu begitu cepat berlalu. Matahari mulai muncul di ufuk timur. Raden Budog terbangun, mengusap-usap matanya yang masih mengantuk. Hidungnya mencium wangi kopi yang menyegarkan. Kemudian dilihatnya seorang gadis cantik menyuguhkan segelas kopi di sampingnya.
"Minum dulu kopinya, Raden," kata gadis itu.
"Kamu siapa? Dari mana kamu tahu namaku?" tanya Raden Budog, walau sesungguhnya dia tahu bahwa gadis itu pastilah anak Nyi Siti.
"Namaku Sri Poh Haci, anak Nyi Siti.”
Hari berganti hari. Kedua insan itu pun jatuh cinta. Nyi Siti sebenarnya tidak setuju bila anaknya dipinang oleh orang yang tidak diketahui asal-usulnya, apalagi orang itu kelihatan keras kepala. Tapi Nyi Siti juga tidak ingin mengecewakan hati Sri Poh Haci, anaknya yang semata wayang itu. Akhirnya Raden Budog menikah dengan Sri Poh Haci. Kesenangan Sri Poh Haci menabuh lesung tetap dilanjutkan bersama gadis-gadis kampung. Bahkan Raden Budog sendiri menjadi sangat mencintai bunyi lesung dan turut memainkannya. Hingga suatu ketika, terjadilah peristiwa yang tidak diinginkan sama sekali oleh penduduk kampung itu. Karena sangat senangnya terhadap bunyi lesung, Raden Budog yang keras kepala itu setiap hari tidak mau berhenti menabuh lesung.
Hari itu hari Jum'at. Raden Budog kembali hendak menabuh lesung. Para tetua kampung memperingatkan dan melarang Raden Budog. Tapi Raden Budog tidak perduli dan tetap menabuh lesung. Dengan hati girang dan bersemangat, Raden Budog terus menabuh lesung seraya melompat-lompat kian kemari.
"Lihat, lihat! Ada lutung memukul lesung! Ada lutung memukul lesung!" Penduduk kampung berteriak-teriak melihat seekor lutung sedang memukul-mukul lesung.
Raden Budog terperanjat mendengar teriakan-teriakan Itu. Dia melihat ke sekujur tubuhnya. Betapa kagetnya dia setelah melihat tangarnnya penuh bulu. Begitu pula kakinya. Dirabanya mukanya yang juga telah ditumbuhi bulu. Raden Budog pun lari terbirit-birit masuk ke dalam hutan di pinggir kampung itu. Raden Budog menjadi lutung. Penduduk kampung itu menamainya Lutung Kesarung.
Sri Poh Haci sangat malu dengan kejadian itu. Diam-diam dia pergi meninggalkan kampung. Konon Sri Poh Haci menjelma menjadi Dewi Padi. Demikianlah ceritanya, kampung itu pun terkenal dengan sebutan Kampung Lesung dan karena letaknya di sebuah tanjung, orang-orang kemudian menyebutnya Tanjung Lesung.